Rame-Rame Gerakan Mahasiswa

2 02 2010

Artikel ini ditulis dengan motivasi agar mahasiswa di Indonesia, setidaknya mahasiswa di UI mendapatkan sedikit lagi gambaran apa sih sebenarnya yang disebut dengan “gerakan mahasiswa”, yang akhirnya membuat kita semua jadi sedikit lebih peduli untuk ngelakuin sesuatu. Dorongan lain adalah istilah “gerakan mahasiswa” yang, menurut saya setidaknya, sudah mendapatkan “tempat khusus” yang tidak begitu positif dengan terus diasosiasikan dengan demonstrasi atau kegiatan-kegiatan yang sifatnya politis. Keterlibatan saya dalam waktu singkat di beberapa organisasi kemahasiswaan kaya BEM juga menjadi motivasi tulisan ini supaya BEM UI bs lebih mampu menempatkan diri sesuai konteksnya di Indonesia yang kayanya (dan harusnya on the move) ini.

Pertama, ada beberapa hal yang udah berubah sama keadaan kampus kita ini dengan jaman-jaman sebelumnya, termasuk dgn jaman kemerdekaan (ya iyalah), jaman 1966, jaman 1998 dan harusny sih sama jaman2 2000-2004. Perbedaan pertama itu adalah makin banyaknya organisasi atau perkumpulan yang berdasarkan minat dan bakat mahasiswa. Dulu, sepertinya (maap klo sok tau) yang populer dan utama model-modelnya senat, kelompok-kelompok politik model Kammi,gmni,hmi,dll;  perkumpulan-perkumpulan olahraga dan seni, grup pencinta alam model mapala. Turun-temurun kayanya organisasinya itu terus secara konsisten. Grup-grup ini selalu jd “trademark” buat istilah “aktivis”. Sekarang, grup-grup ini makin banyak, baik dr jumlahnya ataupun dari peminatannya. Senat atau BEM ga lagi jd idola atau malah sering disebut ga penting. Cukup cari temen lebih dari 10 orang dan udah bs bikin perkumpulan tertentu. Klo ngutip kata-kata di HI, terjadi proliferasi organisasi dan network.

Perbedaan kedua adalah kelas-kelas grup-grup itu jd lebih menyebar, engga lg ada kesan satu perkumpulan atau organisasi lebih “berkelas” dibandingkan organisasi lainnya. Hidup dan mati satu perkumpulan itu ya ditangan orang-orangnya sendiri. “Delinking” atau ketidaknyambungan atau “idup sendiri-sendiri” ini cukup terasa. Misalnya waktu itu, saya pernah dicuhati salah-satu anggota grup choir UI yang kabarnya sedang dililit kesulitan keuangan. Masalah yg sebenernya sangat mungkin terjadi dgn hampir seluruh grup ini ya diperjuangkan habis2an oleh grup choir itu sendiri dengan mencari advokasi kepada rektorat. Entah berhasil atau tidak, yg jelas menurut saya, kesulitan itu akan lebih mudah teratasi bila, organisasi-organisasi lain atau minimal yang sejenis di bidang seni menganggapnya sebagai “persoalan bersama” bukan masalah grup itu aja.

Ketiga, maapin klo saya ga ada angka pastinya, tapi bedanya organisasi/grup mahasiswa jaman sekarang itu makin bs nge-attract banyak partisipan/anggota dengan seberapa besarnya organisasi itu bs relevan dgn perkembangan personal atau karier mahasiswa. Makin besar relevansi nya makin gede peminatnya. Mungkin beberapa kalangan mencibir sebagai “CV seeker” tapi itu kenyataannya dan cukup positif juga. Lihat aja peminat AIESEC dengan peluang ke luar negeri-nya, EDS dengan peluang link kompetisi dan link network yang sangat baik, belum lagi MSS di manajemen, panitia Bedah Kampus dengan keuntungan sangat besarnya. Intinya, semakin besar peluang mendapatkan pengalaman, link, network, makin “laku” organisasi itu sekarang.

Perbedaan selanjutnya adalah metode dalam beraktivitas yang makin bermacam-macam.Cukup dgn membuat “event” di facebook yang dipoles dengan iming-iming sertifikat dan makan siang gratis, sebuah acara seminar biasa-biasa aja bisa mendatangkan banyak peserta. Beragam workshop, training, kunjungan, dilakukan utk beragam isu, dr mulai konservasi lingkungan, sampai sekadar fund raising. Bisa kita liat bahwa banyak kegiatan itu adalah untuk meng-attract partisipan, selain tentu saja untuk goal utama kegiatannya. Organisasi-organisasi atau grup-grup ini berkompetisi.

Ada beberapa konsekuensi logis dari berubahnya jaman skrg. Pertama, organisasi/grup di kampus musti kompetitif dengan nunjukkin relevansinya utk perkembangan mahasiswa. Personal gain untuk mahasiswa semakin harus ditunjukkan,ga bisa lg cuma untuk “mengabdi” atau altruistik melayani dengan ikhlas. Kedua,metode beraktivitas (atau “bergerak” kalau ngikutin istilah aktivis tradisional) semakin beragam. Kita juga skrg musti paham utk tidak lg mengasosiasikan kata “gerakan” dengan keadaan mahasiswa berjaket kuning berbaris di jalan dengan salah satu pemimpin mereka berada di depan mobil sound. Konsekuensi lainnya adalah semakin pentingnya “network” dan bidang “penelitiandan pengembangan” (R&D istilahnya) buat organisasi. Organisasi ga bs lg ngandelin anggotanya doang. Dia musti ngembangin sayap yang juga berguna utk menghubungkan organisasinya dengan dunia kerja sebenarnya. “Linkage” dengan dunia kerja inilah yang seringkali dilupakan, terutama oleh lembaga-lembaga kampus yang lama macamnya BEM.

Pepatah di jaman sekarang katanya “either you compete or perish”. Ini juga yang saya sangat harapkan dari organisasi BEM. Ga bisa lagi kita eksis di dunia pergerakan mahasiswa yang makin beragam dan makin kompetitif ini dengan “menjual” pelayanan tanpa pembelajaran, jargon “berjuang untuk rakyat atau berjuang bersama rakyat”. Metode beraktivitas yang beragam, network, dan linkage dengan dunia kerja adalah sebagian kecil hal yang harus digarap oleh penggiat BEM UI skrg yang digarap dengan maksimalisasi fungsi Litbang utk bisa menangkap kebutuhan itu. Fungsi BEM sebagai fasilitator atau jembatan organisasi-organisasi yang banyak itu juga salah satu area relevansi BEM UI.





Baswedan-Inspired Way of Fixing Indonesia : Kasus Century dan BEM UI

24 01 2010

Sebelumnya, thanks to Natasha Virzana for pointing out the magnificent thought of Kak Anies Baswedan. Its trully inspiring dan gw yakin lebih banyak orang perlu lebih banyak tau ttg (mengutip Titis Andari), the beautiful atlantis of AFS.

Kak Anies Baswedan punya pikiran, utk sebelum memperbaiki Indonesia, seorang Indonesia perlu terlebih dahulu melihat “barang” Indonesia yang super luas dan super kaya itu dari “luar”. Dengan men-“dettach” diri tersebut, kita jadi lebih punya gambaran atau perspektif mengenai bagaimana sebaiknya memperbaiki bangsa ini. Perlu ditekenin kalau pikiran ini ga bersifat “one fits all”, karena namanya jg “ngeliat” barang yang sebesar Indonesia, kita akan ngeliat satu bagian dari Indonesia yang luas, jd ya yg kita perbaiki bagian yg kita liat itu aja, sesuai dgn peranan kita. Dengan “detachment” ini, seorang Indonesia akan melihat Indonesia dengan sedikit lebih bijaksana dan dengan perbandingan pandangan bangsa lain. Diharapkan the big picture akan lebih terlihat. Memang sesungguhnya, akan sangat sulit memperbaiki sebuah rumah apabila kita melihatnya dari dalam, karena disamping suka ribut sendiri sama seisi rumah, kita jg gada “the big picture” dan gada perbandingan. Apalagi yg diliat adalah “rumput2 tetangga” yang emang selalu lebih hijau.

Mungkin pemikiran inilah yg skrg ini kita sangat butuhkan. Kegaduhan di dalam negeri yang kini sangat dipenuhi oleh aura negatif. Kasus Century yg dijadikan alat politikus dalam negeri dan pihak2 pengekornya (yg banyak di antaranya mahasiswa sayangnya) dan semangat organisasi kemahasiswaan yang menurut saya sangat out of date akan saya jadikan kasus. Pemikiran Baswedan sangat tepat utk mem-frame pemikiran tersebut. Tampak jelas bahwa aktor2 di kedua hal tersebut sangat “mumet” “sempit” dan stuck in the box.

Utk kasus Century, seharusnya, bangsa Indonesia sudah “menangkap” sinyal dunia internasional yang sudah menempatkan Indonesia sebagai emerging giant. Posisi Indonesia sangat baik sekarang ini, krisis ekonomi 2008 terlewati dgn lancar, cuma bareng India dan China yang ga kena parah. Harusnya ini dijadikan kick start yang ok utk semakin berlari. Tapi apa yg terjadi? dunia politik domestik kita malah saling sibuk menjatuhkan. “Myopi” politikus terjadi lagi utk kepentingan sesaat. Politikus-politikus macam Bambang Susatyo, Gayus Lumbuun, dan Maruar Sirait adalah sebagian dari politikus2 yg myopi tersebut. Lebih parah lg, banyak kalangan yang katanya “ilmuan” macam Hendri Saparini, dan Ichsanudin Noorsyi mendukung proses ini. Hal ini diperburuk dgn kalangan mahasiswa yg masih saja terbelenggu oleh beban masa lalu abang2nya yang (dengan segala hormat) menanamkan betapa baiknya beroposisi pada pemerintah apapun yg dilakukannya. Kapan kita akan berlari bila belenggu belenggu ini masih akan terikat kencang pada leher Indonesia ini? Mampukah kita menangkap sinyalemen dari dunia Internasional ttg Indonesia? Atau kita akan membiarkan dunia Internasional utk menyusul kita (lagi) sementara kita sedang asik bunuh2an sesama kita?

Hal yang sama terjadi dgn BEM UI. Mungkin banyak yg akan mengatakan saya tidak punya cukup sensitivitas atas pernyataan saya berikut, tapi menurut saya ini cukup penting. Dari taun ke taun…BEM UI terbelenggu dgn isu-isu domestik UI (bila tidak diantara mahasiswa sendiri). BOPBBBBBB truuuuussss… Kalangan pembela mungkin mengatakan bahwa isu ini penting dan tetep juga memperhatikan isu lain. Tp menurut saya, “obsesif kompulsif” kalangan pergerakan ini sudah parah. Seakan2, isu BOPB adalah isu yang paling vital. Saya tidak mengatakan bahwa isu ini ga penting, tp isu ini telah membelenggu BEM UI. Kita telah kehilangan waktu, tenaga, pikiran utk meningkatkan kompetitifan dan posisi mahasiswa UI secara umum dalam memperbaiki Indonesia. Ya secara khusus saya menunjuk hidung pada kalangan Tarbiyah sebagai “partai” utama yang menciptakan kondisi seperti ini. Obsesif kompulsif BEM UI pada kasus BOPB ini menruut saya turut menyumbang “malasnya” antusiasme mahasiswa (bila bukan masyarakat secara umum) pada organisasi BEM UI. Sikap terhadap BOPB ini menjadi semacam ladang subur radikalisme sifat mahasiswa vis a vis kalangan pengambil kebijakan (be it rektorat atau pemerintah). Dimanakah peran kita sebagai MITRA positif pemerintah dan pengambil kebijakan rektorat?

Secara khusus, utk BEM UI, saya akan menyoroti tidak adanya kalangan “dettached”, kalangan di luar BEM UI yang menyumbangkan pikiran dan ilmu pada pengembangan kebijakan BEM UI. Bila kita masukan pada pemikiran Anies Baswedan, kita perlu orang2 ter-dettached ini utk melihat BEM UI dari perpektif “luar” karena ketika sudah di dalam, logikanya sudah berbeda lagi tentunya. Fungsi Pusgerak tidak dapat kita harapkan utk hal ini karena logika “orang dalam”-nya tersebut. Perlu adanya inisiatif utk institusionalisasi “outside thinker” ini.

Semoga tulisan ini menjadi sumbangan pikiran yang menyegarkan dan membebaskan. Special thanks to Kak Anies Baswedan.





UI Summit, Supaya Tidak Amit-Amit

22 01 2010

UI Summit!!!
dulu sempet ada Konferensi Gerakan se-UI, trus Forum Sinergisasi. Barang yg lama,tp kemasan (dan moga-moga hasil dan prosesnya) berbeda.Bem UI 2010 sepertinya (ini asumsi yg dibuat 1-2 bulan yg lalu) berharap besar UI Summit ini menjadi gebrakan baru, bukan hanya utk BEM UI 2010, tp utk UI dan negara selama setahun kedepan. Mungkinkah?

eits,bentar…sejauh yg saya bayangkan,mungkin masih banyak mahasiswa yg ga “ngeh” UI Summit atau KGUI itu apaan?naah,ini yg gw takutin.Tulisan ini pada intinya ngebahas kekhawatiran itu.Program besar,resource besar,harapan besar,tp output dan prosesnya akan seperti cerita berulang kembali.

Sejauh yg saya tahu dan pahami, UI Summit (atau apa pun namanya) adalah sebuah forum sinerginasi semua stakeholder mahasiswa UI utk beraktivitas kedepannya.Hal ini dilatarbelakangi oleh Mahasiswa UI yg plural dengan banyak potensi, jd biar maju makanya musti gerak bareng sinergis.Harapannya gada lg gerak sendiri2.Gada lg anak OR pengen fasilitas diperbaiki tp dicuekin sama yg hobinya nuntut SBY.Gada lg kalangan ekstra kampus punya pendapat tp digaringin sama anak seni karna ga ngerti.Gada lg BEM UI yg punya agenda kesma sendiri tp paguyuban cuma jd penonton. Itulah sebabnya, di UI Summit BEM UI 2010 nanti, stakeholder yg diundang, sepanjang pengetahuan saya, lumayan komprehensif. Dr mulai kelompok ekstra, seni, OR, demonstrator rutinan, akademisi, dll. Cuma anak Kupu-kupu aja kayanya yg ga diundang (mkanya anak kupu2 harusnya bikin paguyuban spy jd pressure group).

Mulia? sepertinya,tp tahan dulu, ada beberapa catetan…

Pertama, keterlibatan kelompok yg sangat plural dengan beberapa diantaranya adalah kelompok2 yg baru di-inklusif-kan, bukanlah perkara mudah. Setiap kelompok biasanya ada “frekuensi” sendiri.Belum lg ada kelompok yg berfriksi dgn yg lain, seperti tarbiyah yg (mungkin) ga sreg dgn kelompok ekstra dan udh mulai wanti2. Keterbukaan pikiran dan toleransi kelompok-kelompok di UI akan diuji.

Kedua,dikhawatikannya isu-isu yg muncul jg sering menimbulkan kesulitan sendiri dr berbagai pihak. Kadang isu Kesma dgn isu idola semua umat (BOPB) dan isu meneriaki pemerintah (dgn segala juntrungannya) lebih disoroti banyak pihak dan berpotensi menimbulkan huru hara (smoga tidak terjadi).Saya berharap bahwa justru UI Summit adalah peluang utk mengarusutamakan isu-isu yg selama ini ga pernah didengar, seperti UKM-BO dan paguyuban. Atau kebijakan akademis UI misalnya. Kini mendapat “ruang lebih” di event rembugan terbesar mahasiswa UI. Patut diperhatikan dalam hal ini seberapa besar kepemimpinan BEM UI dan seberapa besar “intensi utk bersinerginya” kelompok2 plural di UI.

Ketiga,perjalanan isu yg ga jelas juntrungannya. Kesepakatan ttg isu-isu dibuat, trus gatau kemana kabarnya. Perlu diperhatikan institusionalisasi UI Summit utk proses evaluasi capaian. Percuma rasanya kalau kita heboh di pencanangan tp adem ayem di pelaksanaan dan evaluasi.

Saya teringat sebuah pendapat yg dikemukakan oleh Walter Mattli dan Ngaire Woods ttg global governance yg mnrt saya relevan utk UI Summit ini. Sebuah institusi/upaya pengaturan/sinergisasi memang memerlukan transparansi,keterlibatan banyak pihak,dan forum evaluasi. Tp itu saja ga cukup, perlu adanya informasi cukup utk publik secara umum ttg isu-isu yg dibahas, motivasi publik yg cukup,dan ide-ide baru dr publik. Jd supply (UI Summit yg inklusif) harus diimbangi oleh demand (sikap publik dan pengetahuan publik ttg isu-isu).

Berkaitan dgn itu, saya takutnya, UI Summit cuma akan jd sebuah forum yg mirip pedagang i-phone di antara penduduk buta huruf. Siapa peduli?





BEM UI itu berdiri dimana?

11 01 2010

Walaupun jarang-jarang saya simpati sama pemikiran BEM UI sebagai organisasi pergerakan, ok lah saya pakai juga akhirnya frame berfikir tersebut. BEM UI sebagai organisasi pergerakan, pressure group, yg emang fungsi utamanya adalah presurre group mereka yang berkuasa, entah itu rektorat atau pemerintah (dr sini aja ga jelas sebenarnya).

Teringat comment salah satu temen di facebook yg bilang kalau ideologi BEM UI itu ya yg penting demi kesejahteraan rakyat dan keadilan. Its really everything, anything, but nothing! rakyat yang mana? ok lah bantu yg miskin, tp kan negara ini dibangun utk yg kaya dan yg miskin. Kesejahteraan dengan cara mana? standar mana? smuanya ini kan tergantung dgn kacamatanya, klo kacamata yg basi ya paling mau liberal, hijau, atau sosialis misalnya.

Kejelasan kacamata yg dipakai ini belum pernah ada sebelumnya. Atau emang dianggap ga penting. Padahal dgn gada kacamata bersamanya ini, smua isu genting jd bingung menilainya. spt BOPB, UU BHP, dll. Sepertinya, BEM UI hendak menyenangkan semua pihak, tampak netral, mengayomi semua, dengan cara…tidak mengayomi semua, tidak netral, dan tidak menyenangkan siapapun. (inget konteksnya gerakan).

Coba bandingkan dgn greenpeace, IGJ, ICW, mereka jelas gtu lho, sosialis kah, liberal kah, green kah. BEM UI ini mau berdiri di mana?





BEM UI Post BOPB

11 01 2010

Walaupun dikritik habis-habisan oleh ekonomis Paul Krugman melalui bukunya Pop Internationalism, pandangan yang menyatakan bahwa dunia pada saat ini dipenuhi dengan tingkat kompetisi yang sangat tinggi sehingga berlaku prinsip “you need to compete or perish” menurut saya masih perlu disimpan dibenak setiap manusia, terutama di negara-negara berkembang, atau di negara yang sudah menengah akan tetapi penduduknya terkadang meng-under-estimate bangsanya sendiri, penduduk Indonesia. Nah di tulisan ini, gw mau ngelaborasi lebih jauh ttg pentingnya ngembangin kompetitifness Indonesia, yaa gausah jauh2 deh, dimulai dr organisasi yg gw rada familiar, bem-bem an.

Oya, sebelumnya, Paul Krugman bilang kalau masyarakat dunia itu salah ngerti dgn nganggap “daya kompetitif” sbg jawaban atas smua permasalahan ekonomi. Padahal, cara yg demikian itu nganggap negara sama dengan prusahaan yg jelas2 beda. Lagian, tingkat kemakmuran penduduknya itu ga ditentuin sama tingkat laku/ga nya produk mreka di pasaran dunia, msh banyak faktor lainnya. Ok lah, boleh…

Nah, tapi menurut gw, pesan Krugman itu musti hati2 dipandang sama orang kita. Jangan sampe mentang2 Paul Krugman bilang jgn terhipnotis sama kompetitivness, kita malah mikir ya gapapa lah Indonesia ketinggalan, kan belum tentu lebih bahagia juga. Justru menurut gw, pemikiran tingkat kompetitifness ini penting banget untuk orang Indonesia utk berpacu memperbaiki diri. Kenapa kompetitifness penting? ya utk pacuan/pemicu saja. Tentu masih banyak faktor lain, kaya pemerataan kesempatan (wow gw terdengar seperti sosialis brengsek), produktifitas domestik, tp tetep, kita musti gamau kalah sama negara lain.

Apa hubungannya sama BEM? mungkin jauh sih secara kasat mata, tp menurut gw, ga juga. Universitas juga kan termasuk salah satu yg perlu “kompetitif aware”, jd otomatis student body-nya juga musti ngeh. Banyak banget area dimana kita musti gamau kalah. Dunia ini ga lagi segede Depok-Margonda. Saatnya kita, bem ui, bergerak menggarap isu-isu yang sedang menglobal skrg ini. Kalau BEM nya inward looking, hanya pasrah pada Tuhan, puas dengan “rasa kekeluargaan” yang seringkali bertepuk sebelah tangan dengan ngerjain hal2 baru dengan cara baru bukan demo atau romantisme semu 1998.

Berkaitan dgn ini, saya sebut di atas “Post BOPB” karena BOPB menurut saya salah satu issu yg menghambat pikiran intelektual2 pergerakan mahasiswa di BEM dan sekelilingnya. BOPB truuuus yang diurusin. Seolah2 ia menjadi satu2nya isu yg dipentingkan. Pokonya, dosa besar kalau BEM UI ga ngurusin BOPB, tp ga masalah klo BEM UI abai pada PKM, ga masalah klo BEM UI ga mikirin klub-klub UKM-BO, ga masalah klo BEM UI ga ngedukung olahraga di UI. yg penting BOPB. Kita butuh BEM UI Post BOPB. Kita butuh proporsionalitas dalam mengembangkan organisasi ini. Bukannya BOPB harus musnah dari agenda BEM UI, tp sudah selayaknya, kita melihat hal2 lain selain BOPB.





Krisis Pergerakan Mahasiswa : perdebatan, bukan paduan suara

26 10 2009

Di organisasi atau gerakan,kita pasti butuh banyak atau beberapa pandangan, entah itu sejalan atau tidak sejalan.Beragamnya pandangan atau pendapat ini bermanfaat selain untuk mekanisme self check and balance internal organisasi dan pergerakan, juga untuk memastikan output terbaik dari institusi itu, baik formal atau pun tidak.

Banyak contoh yang menegaskan argumen di atas. Kita ingat betul bagaimana pemerintahan George Bush Jr yang terlalu dikuasasi kaum neokonservatif seperti Wolfowitz atau utamanya Dick Chenney. Kalangan yang lebih moderat seperti Menlu Collin Powell pun hanya bertahan setengah dari era Bush. Hasilnya bukan hanya kebijakan yang terlalu kanan, tp juga legitimasi dr kebijakan itu sendiri menurun. Tapa berspekulasi atau menilai benar/salahnya kebijakan yang diambl, saya percaya kalau saja ada lebih banyak “suara” lain di dalam pemerintahan itu,output kebijakan di Iraq atau Afghanistan mungkin akan lain,mungkin…Atau contoh yang lebih dekat mungkin kombinasi antara SBY-JK yang oleh Effendi Ghazali katakan kombinasi antara “rem dan gas” dimana SBY berfungsi sebagai kendali dan harmonizer atas dorongan-dorngan kebijakan tembakan Kalla. Check and balance ini juga berfungsi untuk menambah kualitas output. Beda pendapat adalah wajar dan diperlukan untuk jalannya institusi.

Sekarang kita liat ke pergerakan mahasiswa sekarang. Apakah kita sudah punya banyak pilihan pandangan di atas meja?

Berdasarkan pengalaman saya yang sangat terbatas di dunia organisasi kemahasiswaan. Bila kita cermati perkembangannya sekarang ini, seperti dalam isu BHP, ekonomi seperti BBM atau BHP, atau KPK (apa saja lah), jelaslah dengan kontras pergerakan mahasiswa berada dalam kandang “penganut populis”. Penganut populis ini ekuivalen dengan pandangan “pemerintah yang besar” atau “pemerintah yang aktivis”. Bila saya tidak salah mengerti, UU BHP banyak dikritik “pergerakan mahasiswa” karena dirasa peranan pemerintah sengaja dikecilkan. BBM juga diprotes karena pemerintah dirasa tunduk pada kehendak pasar. dan begitulah serangkaian protes lainnya yang secara umum berbunyi “pemerintah seharusnya mengurus hal ini (dan itu)”.

Tulisan ini tidak bermaksud membahas satu persatu isu tersebut di atas atau berdebat apakah “kandang welfarist” yang “dianut” tepat atau tidak tepat. Saya hanya ingin menegaskan betapa seragamnya pandangan yang dianut. Pun bila pandangan welfarist yang dianut, kita semua selayaknya paham bahwa semenjak 1970, pemerintah tidaklah menjad “juru selamat” setiap permasalahan yang ada dan aktor-aktor domestik dan internasional sudah beragam dan semakin canggih, bahkan lebih canggih dr negara, seperti NGO atau pasar misalnya. Berdasarkan hal inilah,menurut saya, perlu ada lebih banyak “pilihan pandangan” dalam meja pergerakan mahasiswa.

Dampak lebih jauh dari terlalu seragamnya welfarist dalam pergerakan mahasiswa juga bisa bermacam-macam. Sebagai contoh,kita menjadi sangat mudah untuk menyalahkan pemerintah dalam jatuh bangunnya kondisi sekitar kita, sebuah budaya paternalistik yang harus dicegah. Ini juga berdampak pada mudahnya mahasiswa menjadi alat kekuatan politik yang kritis terhadap pemerintah yang ada. Selain itu, yang lebih fundamental adalah bahwa pemikiran mahasiswa yang menjadi “mentok” karena solusi dari semua permasahalan adalah “pemerintah seharusnya…”.

Sebagai penutup, saya berharap bahwa kelompok-kelompok pemikir mahasiswa dari berbagai aliran untuk lebih mengorganisasi diri dan bersuara dalam “dunia persilatan” mahasiswa. Ada banyak sekali aliran, nasionalis, komunis, religius, atau bahkan liberal mungkin? tidak ada aliran pemikiran mana pun yang paling benar sehingga perumusan pilihan “pergerakan mahasiswa” pun trbuka untuk kontestasi, tentunya dengan budaya persuasif yang konstruktif, bukan “akal-akalan politik murah a la mahasiswa” pastinya. biarlah suaranya saling beradu dan beradu dengan nyaring, bukan koor semata





how to reclaim student movement from the left aspiration

26 10 2009
Buku Conscience of a Liberal tulisan Paul Krugman yang dilanjutin dengan tagline “reclaiming america from the right” bikin gw kepikiran. Seperti biasa, Krugman, ekonom MIT nyeleneh ini menulis tedeng aling-aling menjelaskan bagaimana program big government era new deal bikin era amerika 3-4 dekade setelahnya jadi era paling makmur dalam sejarah amrik modern. Era “the great compression” -begitu Krugman nyebut karena gap kaya-miskin di Amrik menyusut drastis sejak program-program sosialis seperti Jamkesmas,jamsostek (a la amerika) diperkenalkan, terutama program infrastruktur FDR yang sangat Keynesian itu. Di akhir bukunya,Krugman juga lebih jauh ngedorong Obama skrg utk ga ragu-ragu mengambil alih sistem jaminan kesehatan dari swasta, agenda liberal yang seumur idup Ted Kennedy (alm) perjuangin (tp ga pernah sukses). Buku ini bener-bener jadi kampanye terbuka seorang akademisi terhormat pada agenda liberal-big government. Aneh juga kenapa Krugman ga dipilih jadi menkeu AS, Obama malah milih Geithner,mmmhhh…anyway…

Ada beberapa hal yang nge-gelitik gw dr buku ini, terutama kaitannya ama Indonesia ku ini y br aja dapet kado ultah kepala Noordin M.Top buat lebaran ini (whatta fun holiday this will be!). Pertama,tulisan Krugman perlu ati-ati ditrima sama mahasiswa Indonesia yang hobi protes pemerintah dengan prinsip “pemerintah harusnya…” (nanti dijelasin di bawah”. Kedua, yg menarik dan mungkin agak kontradiksi dari tulisan Krugman adalah gmana ide-ide sosialis a la new deal bs berkembang dan ditrima di Amrik yang berevolusi lewat bukti nyata dan persuasi, yang mengarah pada “titik terang” bagi perkembangan ide liberal-pasar di Indonesia (poin yg ketiga), afterall keseimbangan pasar-peran negara adalah inti dr gmana ngurus ekonomi negara ini (selain ngurus / mendisiplinkan agenda-agenda anti-perbedaan di negara ini,whekekek).

Pertama, Krugman yang nyaranin large government intervention musti ati-ati disikapin.Jangan sampe ada mahasiswa bilang, “tuh kan,Krugman aja bilang pemerintah AS perlu turun lebih jauh ke perekonomian, tuh kan ekonomi amrik dr 50-awal70 makmur gila…gap kaya miskin kurang, jelas kan?”. Saudaraku, satu kalimat penting dr Krugman adalah bahwa segala intervensi pemerintah itu dilakukan secara bersih, kagak korup, yg berarti birokrasinya bener. Indonesia..mmmhhh…birokrasinya masih ga efisien,ditandai dengan lamanya saudara bila ingin pinjam bikun atau ruangan. Kalau pemerintah kay gini,mending swasta aja yah yg ngurus. (Man…this will leave me a lot of trouble).

Kedua, ini yg menurut gw menarik. Fyi,Krugman bilang di sebelum Great Depression (yg mana sebelum program New Deal), ide stimulus ekonomi-nya Keynes itu dianggap engga banget, dianggap engga pro pasar-lah apa lah. Tp kemudian lambat laun dengan program pemerintah yang jalan,stimulus tepat sasaran,birokrasi yg bersih,ide social safety net (dan net-net yg lain) malah terus ada dan jadi sebuah keharusan utk stiap pemerintah bertahan. iya,”keharusan”. Nah,utk Indonesia yang secara umum mahasiswa-nya massiiiih aja berkutat di “pemerintah harusnya…” dan memicingkan mata kala kata “pasar” disebut, pemerintah Indonesia mustinya semakin nunjukkin bahwa market bs trickle down ke kesejahteraan. Aturan main dan peraturan musti makin di-ok-in supaya kompetisi ngasilin “buah” yg baik,jangan ampe ngehasilin pengusaha-pengusaha pencari rente di Indonesia seperti Besowa,hoho…Protes dikit-dikit gpp lah,kaya kasus Century,tp buktiin dgn performance dan persuasi,kata bang rizal bilang.

So all in all, Wapres kita Boediono kan udah bilang…sekarang,bukan waktunya lagi ekonomi kiri atau ekonomi kanan karena sejarah udah nunjukkin kelebihan dan kelemahan di antara keduanya. Berhubung kita masih mikirnya pemerintah dgn birokrasi belum dewasa ini harus take over smua, dan pasar duduk aja di kursi belakang dan menghasilkan pemain pasar yg manja dan suka nyogok pemerintah, waktunya kita reclaim Indonesia from the left,move it a bit to the right,,not too much though…ada UUD ’45 ko gw inget.





Pemira UI beyond the politics

26 10 2009

Pemira lagi! ga kerasa (well…kerasa sih,humas gtu loh) bem ui 2009 bentar lagi mnemui akhirnya (sooo much to do still). Kaya biasa,pemira emang slalu jd event yg ga pernah sepi dr hingar bingar keseharian kita di kampus. Mau yang peduli atau engga, mau yang emang hobi ngintrik politik atau engga, atau yg berniat tulus memperbaiki keadaan atau mencari rente politik kampus,doesnt matter, pemira biasanya jadi “buzz” yang kuat. Mencontek salah satu quote di HI, “you may not be interested in Pemira,but Pemira will always be interested in you”. Ok lah, coba kita diskusikan pemira ini yah. Btw tulisan ini tidak bermaksud politis mendukung siapa-siapa kaya satu tulisan yg udah bahkan ada di anakui.com, gw cuma coba kasi pandangan aja ttg salah satu aspek di pemira yg juga jd bahan bacaan gw di kuliahan sehari2 : POLITIK.

Kenapa ngomongin Politik di Pemira? selaen karena gada lg yg bs gw omongin, mnurut gw politik penting ditlisik karna sering banget kita denger beberapa nada miring yang mengandung kata politik di dalamnya ketika ngomongin pemira, seperti : “ah itu politik kampus tuh” atau “ah dia maju tuh politik buat mecah suara gosipnya” atau “dasar politik,apa aja dilakuin untuk menangin pemira”. Yaah pokonya sejenisnya lah (kenapa kaya anak sd bikin kalimat pake kata politik yah?). Demikianlah gmana politik kampus didekatkan dengan makna yang tidak begitu positif (bila tidak menyebutnya sebagai buruk,licik,dan akal2an demi suara semata). Sebagai mahasiswa FISIP,ini sewajarnya bikin gw gregetan…why the campus politics is the culprit? apa yang salah? hmmm…

Penjelasan yang menurut gw selayaknya dipertimbangkan (selaen utk menyelamatkan politik dr muntahan kebencian) adalah karena politik kampus is part of the problem, not the solution.Mungkin pengalaman gw di ngintrik2 politik minim banget,,,tp ya itu td…proses perebutan suara dr berbagai kalangan (walaupun ada yg ga “berbagai” sih tp yaudah lah anggap aja kita pengen suara dr berbagai kalangan) yang belum berbasis ide adalah masalahnya. Betapa sering kita melihat kampanye yang sangat kontras…tanpa bermaksud nyolot…tp liat deh,ada yg dr kuning,item,biru,ijo,merah,abu2. Ciri masing2 ini sangatlah kental. Ga aneh juga suka ada spirit klmpknya tinggi…menggunakan infrastruktur organisasi/perkumpulan tertentu. Berjuang agar grupnya yg menang pastinya.Trus kalau mau minta dukungan,pendekatan grouping yg digunakan Sebagai mahasiswa fisip,gw ga nganggap ini salah, ini wajar banget malah. You always want part of your group to win,that’s natural. In the end, politics in liberal term kan proses “capture and recapture institution’s interest since there’s no single autonomous interest of power”. Apanya donk yang bikin gregetan?

“I S U R I I L”

itulah yang hilang menurut gw. Logikanya sederhana. Siapa sih yang ga pengen lingkungan yang lebih baik? siapa yg ga pengen BEM UI jd lebih guna? siapa juga yang ga pengen biaya kuliah UI jd trun? what kind of mad-man yang ga pengen fasilitas lbh baik dan suaranya terwakili? pertanyaannya kan apa sih yg rencana lu kandidat bs bikin idup gw lebih bener di UI,gtu bkankah? Jadi,harusnya…di pemira itu,waktu dan energi banyak dihabiskan utk perdebatan bagaimanakah cara mencapai hal2 baik itu, bukan yang lain. Logika diadu, alasan didebat, angka dihidangkan dan solusi dipaparkan. Mana yang paling mampu menjawab pertanyaan itulah yg seharusnya menjadi sorotan, bukan yg lainnya. ini kan beyond politics mnurut gw,apa pun afiliasinya pasti mau gtu. Tp kenapa ya yg bikin seru malah bukan angka-angka dan logika-logika yang diadu utk menjawab permasalahan? Akan menjadi keputusan yang sangat sulit utk rakyat kalau benar-benar perhatian sama what is it with the program yg bikin gw kebantu. Ada dua yang menurut gw penting di-address.

Pertama, weapons of mass distractions (destract lho ya…bukan destruct. Pengalih perhatian,bukan penghancur). Ini gw ngutip kata2nya Paul Krugman, ekonom yang (sayangnya) anti-friedman. Kita musti nyadar kadang orang ga milih berdsrkan apa kepentingannya secara langsung,tp seringkali milih berdasarkan hal2 yg gada hubungannya sama keadaan mereka,tp entah kenapa mereka milih juga. Apa aja sih “senjata pengalih perhatian ini”? banyak bung! identitas sempit, pendekatakan ketokohan,gosip, penampilan juga,hihi…konyol? sempit? boleh aja berpikir gtu,tp engga juga ah mnurut gw,wajar ko.Amartya Sen bilang klo identitas itu kan kedalaman pemaknaannya dikonstruk oleh aktornya (“konstruk”,kaya siapa gtu yg sering pake kata2 ini). Dan rasa primordial dan hal2 distractions itu bs jadi lebih penting utk manusia, mengalahkan “riil issues debate” yg langsung ngaruh buat mereka. Toh kepuasan kan subjektif ya…mungkin banyak orang yg puas klo identitas itu yg lebih penting sehingga riil issues di-entar-entar ajalah…sekali lagi ini “normal”. Terserah sampean utk ter-distract atau engga. Susah buat nge-judge soale.

Kedua,ada ga “raison d’etre” institusi yg di-pemira-in? jangan-jangan orang riuh rendah membicarakan the whole weapons of mass distracttions simply karena “there are no riil issues to discuss about”. atau there are much about nothing? who knows? Mungkin BEM UI atau BEM fak emang udah ga relevan lg dlm mempengaruhi hidup mereka mungkin? siapa tau kan pikiran orang? Anda boleh insist klo ia ngaruh,ok fine. Tp kan pemaknaan itu kan sbjective. Mungkin ia ngaruh buat sebagian orang tp buat sebagian lain (large part i believe) ga relevan, ga ngaruh. So..yaudah…marilah berasik2 dgn hal2 distractions td. Sementara itu,index kualitas kehidupan dinamika kegiatan mahasiswa di kampus ya sgitu2 aja,no progress. Skali lg, ini hanyalah kemungkinan. Tp menurut saya, gw harap alasan kedua ini ga masuk akal (mulai subjective-nya,nasionalisme gw pada bem tumbuh). It matters ko. Liat deh adek2 maba yg rela ngantri ke ruang bem stlh kakak2nya bantuin advokasi mreka. Liat deh gembiranya sebuah fakultas waktu ia menang olimpiade olahraga dan ilmiah yg diadain bem itu, liat deh betapa celingak celinguknya wartawan ketiga gada orang berjaket kuning pas demo, atau yg lainnya lah (gamau pamer berlebihan). Klasik? mungkin…atau “raison d’etre” bem yg udah bertambah jauuuuh lbh banyak yg blon di jwab sehingga orang dengan mudahnya “ah ga relevan”? mungkin…

ini alasan yg bikin gw paling takut : people loose faith in the very institution (bem)

This disfunctionality is tiring them up! serem ga lu! organisasi yg mnurut gw punya sejumlah peluang untuk bikin pengalaman kita sedikit lebih banyak,potensi kita sedikit lebih berkembang,pandangan kita sdikit lebih kaya, kaki kita sedikit lebih kuat (gara2 jalan nanjak ke pgw),atau rektorat kita sedikit lebih bijaksana (ngareep) ini loosing the faith of the very important reason why it exists in the first place : temen2 mahasiswa nya sendiri. Terlalu seringnya kita utk fokus di politik kampus lewat intrik,perdebatan idologi,dan weapon of mass distractions telah membuat kita mungkin lupa bahwa ada mata yg slalu ngeliat kita,semangat yg menunggu kita,minat dan bakat yg tinggal diserap jd percuma…menoleh pada lahirnya organisasi2 baru yg muncul utk menjawab hal2 baru itu. Who knows? I hope this is not and will never be true as i keep faith on bem (kenapa jg gw serve staun ini).

Untuk penutup,ayo temen-temen…ayo!no more paying attention to weapon of mass distractions,no more empty faith,no more fungky politics,no more IGNORANCE. Mari penuhi pemira yg akan datang ini dengan antusiasme akan perdebatan, the hunger for real solutions, the thirst of relevansi, dan spirit of Satu UI. Dan ini smua ga bs ngandelin para kandidat yang akan maju doank (gmana bs kalau rakyatnya sabodo?). As untuk mahasiswa,mari kita seleksi kandidat yang menjauhkan kita dr weapons of mass distractions, kandidat yang ada faith untuk percaya sama our common goods, dan kepercayaan kalau kita semua pasti lebih baik asalkan sedikit kerja lebih keras dan sedikit saling percaya sama common sense dan common people. Karena ini bukan ttg kandidat2,tp ttg kamu,saya,kita,kampus ini.Kalau kata temen saya, harapan itu masih ada. Dan yg perlu diinget : politics is still the way to get beyond (masih ngebela kata “politik”). Viva UI!