Artikel ini ditulis dengan motivasi agar mahasiswa di Indonesia, setidaknya mahasiswa di UI mendapatkan sedikit lagi gambaran apa sih sebenarnya yang disebut dengan “gerakan mahasiswa”, yang akhirnya membuat kita semua jadi sedikit lebih peduli untuk ngelakuin sesuatu. Dorongan lain adalah istilah “gerakan mahasiswa” yang, menurut saya setidaknya, sudah mendapatkan “tempat khusus” yang tidak begitu positif dengan terus diasosiasikan dengan demonstrasi atau kegiatan-kegiatan yang sifatnya politis. Keterlibatan saya dalam waktu singkat di beberapa organisasi kemahasiswaan kaya BEM juga menjadi motivasi tulisan ini supaya BEM UI bs lebih mampu menempatkan diri sesuai konteksnya di Indonesia yang kayanya (dan harusnya on the move) ini.
Pertama, ada beberapa hal yang udah berubah sama keadaan kampus kita ini dengan jaman-jaman sebelumnya, termasuk dgn jaman kemerdekaan (ya iyalah), jaman 1966, jaman 1998 dan harusny sih sama jaman2 2000-2004. Perbedaan pertama itu adalah makin banyaknya organisasi atau perkumpulan yang berdasarkan minat dan bakat mahasiswa. Dulu, sepertinya (maap klo sok tau) yang populer dan utama model-modelnya senat, kelompok-kelompok politik model Kammi,gmni,hmi,dll; perkumpulan-perkumpulan olahraga dan seni, grup pencinta alam model mapala. Turun-temurun kayanya organisasinya itu terus secara konsisten. Grup-grup ini selalu jd “trademark” buat istilah “aktivis”. Sekarang, grup-grup ini makin banyak, baik dr jumlahnya ataupun dari peminatannya. Senat atau BEM ga lagi jd idola atau malah sering disebut ga penting. Cukup cari temen lebih dari 10 orang dan udah bs bikin perkumpulan tertentu. Klo ngutip kata-kata di HI, terjadi proliferasi organisasi dan network.
Perbedaan kedua adalah kelas-kelas grup-grup itu jd lebih menyebar, engga lg ada kesan satu perkumpulan atau organisasi lebih “berkelas” dibandingkan organisasi lainnya. Hidup dan mati satu perkumpulan itu ya ditangan orang-orangnya sendiri. “Delinking” atau ketidaknyambungan atau “idup sendiri-sendiri” ini cukup terasa. Misalnya waktu itu, saya pernah dicuhati salah-satu anggota grup choir UI yang kabarnya sedang dililit kesulitan keuangan. Masalah yg sebenernya sangat mungkin terjadi dgn hampir seluruh grup ini ya diperjuangkan habis2an oleh grup choir itu sendiri dengan mencari advokasi kepada rektorat. Entah berhasil atau tidak, yg jelas menurut saya, kesulitan itu akan lebih mudah teratasi bila, organisasi-organisasi lain atau minimal yang sejenis di bidang seni menganggapnya sebagai “persoalan bersama” bukan masalah grup itu aja.
Ketiga, maapin klo saya ga ada angka pastinya, tapi bedanya organisasi/grup mahasiswa jaman sekarang itu makin bs nge-attract banyak partisipan/anggota dengan seberapa besarnya organisasi itu bs relevan dgn perkembangan personal atau karier mahasiswa. Makin besar relevansi nya makin gede peminatnya. Mungkin beberapa kalangan mencibir sebagai “CV seeker” tapi itu kenyataannya dan cukup positif juga. Lihat aja peminat AIESEC dengan peluang ke luar negeri-nya, EDS dengan peluang link kompetisi dan link network yang sangat baik, belum lagi MSS di manajemen, panitia Bedah Kampus dengan keuntungan sangat besarnya. Intinya, semakin besar peluang mendapatkan pengalaman, link, network, makin “laku” organisasi itu sekarang.
Perbedaan selanjutnya adalah metode dalam beraktivitas yang makin bermacam-macam.Cukup dgn membuat “event” di facebook yang dipoles dengan iming-iming sertifikat dan makan siang gratis, sebuah acara seminar biasa-biasa aja bisa mendatangkan banyak peserta. Beragam workshop, training, kunjungan, dilakukan utk beragam isu, dr mulai konservasi lingkungan, sampai sekadar fund raising. Bisa kita liat bahwa banyak kegiatan itu adalah untuk meng-attract partisipan, selain tentu saja untuk goal utama kegiatannya. Organisasi-organisasi atau grup-grup ini berkompetisi.
Ada beberapa konsekuensi logis dari berubahnya jaman skrg. Pertama, organisasi/grup di kampus musti kompetitif dengan nunjukkin relevansinya utk perkembangan mahasiswa. Personal gain untuk mahasiswa semakin harus ditunjukkan,ga bisa lg cuma untuk “mengabdi” atau altruistik melayani dengan ikhlas. Kedua,metode beraktivitas (atau “bergerak” kalau ngikutin istilah aktivis tradisional) semakin beragam. Kita juga skrg musti paham utk tidak lg mengasosiasikan kata “gerakan” dengan keadaan mahasiswa berjaket kuning berbaris di jalan dengan salah satu pemimpin mereka berada di depan mobil sound. Konsekuensi lainnya adalah semakin pentingnya “network” dan bidang “penelitiandan pengembangan” (R&D istilahnya) buat organisasi. Organisasi ga bs lg ngandelin anggotanya doang. Dia musti ngembangin sayap yang juga berguna utk menghubungkan organisasinya dengan dunia kerja sebenarnya. “Linkage” dengan dunia kerja inilah yang seringkali dilupakan, terutama oleh lembaga-lembaga kampus yang lama macamnya BEM.
Pepatah di jaman sekarang katanya “either you compete or perish”. Ini juga yang saya sangat harapkan dari organisasi BEM. Ga bisa lagi kita eksis di dunia pergerakan mahasiswa yang makin beragam dan makin kompetitif ini dengan “menjual” pelayanan tanpa pembelajaran, jargon “berjuang untuk rakyat atau berjuang bersama rakyat”. Metode beraktivitas yang beragam, network, dan linkage dengan dunia kerja adalah sebagian kecil hal yang harus digarap oleh penggiat BEM UI skrg yang digarap dengan maksimalisasi fungsi Litbang utk bisa menangkap kebutuhan itu. Fungsi BEM sebagai fasilitator atau jembatan organisasi-organisasi yang banyak itu juga salah satu area relevansi BEM UI.